PERATURAN
DAN REGULASI
Hak cipta adalah hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak
cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak
ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan
hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni,
rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun
hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.
Menurut UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta,
ciptaan yang di lindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan
juga sastra berupa buku- buku, program komputer, pamflet, tata letak karya
tulis yang di terbitkan dan semua hasil karya tulis lain seperti ceramah,
kuliah, pidato, dan lain sebagainya. Secara hukum hak ciptamengandung beberapa
elemen hak. Hak – hak yang di miliki oleh pemilik atau hak cipta adalah hak
untuk :
Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual
hasil salinan tersebut
Mengimpor dan mengekspor ciptaan
Ciptaan karya turunan atau derivatif atas ciptaan
Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
menjual atau mengalihkan hak ekslusif tersebut kepada orang lain atau pihak
lain.
Hal yang di maksud dengan Hak ekslusif adalah bahwa
hanya pemegang tau pemilik hak ciptaan yang bebas melaksankan pemanfaatan hak
cipta tersebut sementara orang atau pihak lain di larang melaksanakan
pemanfaatan hak cipta tersebut tanpa izin pemegang hak cipta. Di indonesia, hak
ekslusif si pegangang hak cipta termasuk kegiatan- kegiatan menerjamahkan,
mengadopsi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewa, meminjamkan,
mengekspo, serta mengkomunikasikan suatu ciptaan kepada publik melalui sarana
apapun. Hak hak ekslusif yang tercakup dalam hak cipta dapat dialih kan
misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU nomor 19 TAHUN 2002
pasal 3 dan 4).pemilik hak cipta dapat pula mengijinkan pihak lain melakukan
hak ekslusif nya tersebut dengan lisensi,dengan persyaratan tertentu (UU nomor
19 TAHUN 2002 BAB V ).Ini terkait dengan hak ekonomi yaitu hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.
Berdasarkan sifatnya,hak cipta dianggap sebagai
benda bergerak,oleh karena itu hak cipta dapat beralih atau dialihkan,baik
seluruhnya maupun sebagian melalui pewarisan,waris,hibah,jual beli dan
perjanjian tertulis.Hak cipta tidak dapat disita kecuali jika hak itu
diperoleh dengan melawan hukum. Hal- hal yang tidak termasuk hak cipta adalah
catatanatu hasil- hasil rapat atau persidangan tersebut lembaga- lembaga
negara, peraturan perundang- undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat
pemerintah serta keputusan benda- benda sejenis lainnya. Menurut pasal 15 UU
nomor 19 Tahun 2002, segala hal tertulis yang sumbernya di sebutkan atau di
cantumkan secara jelas tidak di anggap sebagai pelanggaran hak cipta. Hal – hal
yang tidak dapat di daftarkan sebagai ciptaan adalah :
Ciptaan di luar bidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra
Ciptaan yang tidak orisinil
Ciptaan yang bersifat abstrak
Ciptaan yang sudah merupakan milik umum
Ciptaan yang tidak sesuai dengan ketentuan pada
Undang- Undang hak cipta
Jangka Waktu Hak Cipta
Hak cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda
dalam yurisdiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa
berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut
diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di Amerika Serikat misalnya, masa berlaku
hak cipta semua buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah
kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta
biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau
sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara umum, hak cipta
tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan, dan bukan
pada tanggal meninggalnya pencipta. Di Indonesia, jangka waktu
perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah
50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau
dibuat , kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya
siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta
pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).
Penegakan Hukum Atas Hak Cipta
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia
secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama
tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling
sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara
ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta
alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh
Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
Tata Cara Pendaftaran Hak Cipta di Indonesia
Cara Mendaftarkan Hak Cipta dalam Daftar Umum Hak
Cipta dilakukan atau pendaftaran hak cipta di Indonesia yang diajukan oleh
pencipta atau oleh pemegang hak cipta atau oleh kuasa dari pemegang hak cipta.
Cara mendaftakan hak cipta di Indonesia diajukan kepada Ditjen Hak Kekayaan
Intelektual dengan surat rangkap dua yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan
disertai contoh hak cipta atau penggantinya dengan dikenai biaya. Terhadap
permohonan pendaftaran hak cipta tersebut, Ditjen Hak Kekayaan Intelektual akan
memberikan keputusan paling lama 9 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan pendaftaran hak cipta secara lengkap. Kuasa dari pemegang hak cipta
yang dimaksud adalah konsultan hak kekayaan intelektual yang terdaftar pada
Ditjen Hak Kekayaan Intelektual.
Keberadaan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual telah
diatur dalam PP No.2 Tahun 2005 Tentang Konsultasi Hak Kekayaan Intelektual
serta diatur dalam keputusan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Nomor H-17.PR.06.10.
Tahun 2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran di bidang Hak Kekayaan
Intelektual. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki
keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa
di bidang pengajuan dan pengurusan permohonan pendaftaran di bidang Hak
Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Ditjen Hak Kekayaan Intelektual dan
terdaftar sebagai konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Ditjen Hak Kekayaan
Intelektual. Konsultan Hak Kekayaan Intelektual dalam menjalankan tugasnya
diberi Hak untuk :
Mewakili, mendampingi dan membantu kepentingan pihak
pengguna jasa untuk mengurus permohonan Hak kekayaan Intelektual kepada Ditjen
Hak Kekayaan Intelektual dengan disertai surat kuasa.
Memperoleh imbalan atas jasa. Di samping itu,
konsultan Hak Kekayaan Intelektual juga memiliki kewajiban untuk :
(1) Menaati peraturan Undang-undang Hak cipta dan ketentuan hukum lainnya;
(2) Melindungi kepentingan pengguna jasa dengan menjaga kerahasiaan informasi
yang berkaitan dengan permohonan pendaftaran hak cipta yang dikuasakan padanya;
(3) Memberikan pelayanan konsultasi dan sosialisasi hak cipta, termasuk
tata cara permohonan pengajuan Hak Kekayaan Intelektual.
Cara mendaftarkan hak cipta di Indonesia saat ini
semakin dipermudah, antara lain dapat diajukan melalui kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM di masing-masing ibu kota provinsi. Kebijakan ini
sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2000, khusus untuk hak cipta, hak paten
dan Merek dagang, berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.09-PR.07.06 Tahun
1999 Tentang Penunjukkan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman untuk menerima
Permohonan pendaftaran hak cipta, serta berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Ditjen
Hak Kekayaan Intelektual, serta berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Ditjen Hak
Kekayaan Intelektual No. H-08-PR.07.10 Tahun 2000.
Pengertian dan Ruang
Lingkup Hak Cipta [Berdasarkan Tinjauan Hukum]
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi telah melahirkan manusia lebih kreatif dan inovatif. Kreatifitas
ini di antaranya mencakup pada bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Dengan
kemampuan manusia melahirkan kreatifitas, kini muncul upaya-upaya untuk
memberikan perlindungan dan penghargaan atas keberhasilan dalam melahirkan
kreatifitas tersebut. Bentuk dari perlindungan dan penghargaan ini saat ini
dikenal dengan istilah hak kekayaan intelektual. Salah satu bagian dari hak
kekayaan intelektual yang melingkupi pada bidang seni, sastra dan ilmu
pengetahuan dikenal dengan istilah hak cipta.
Dalam sejarah perkembangan istilah hak cipta (bahasa
Indonesia yang lazim dipakai sekarang) pada awal mulanya istilah yang dikenal
adalah hak pengarang sesuai dengan terjemahan harfiah bahasa Belanda
Autersrecht. Baru pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2 Oktober 1951 di
Bandung, penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang
menyempitkan pengertian hak cipta. Jika istilah yang dipakai adalah hak
pengarang, seolah-olah yang diatur hak cipta hanyalah hak-hak dari pengarang
saja dan hanya bersangkut paut dengan karang mengarang saja, sedangkan cakupan
hak cipta jauh lebih luas dari hak-hak pengarang. Karena itu, kongres
memutuskan untuk mengganti istilah yang diperkenalkan dengan istilah hak cipta.
Suatu kreasi intelektual dalam
bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan dapat melahirkan hak cipta. Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaan atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
L.J. Taylor menyatakan hak
cipta melindungi suatu ekspresi dari sebuah ide, sedangkan ide yang belum
diwujudkan belum dilindungi. Dari pengertian ini sangat jelas bahwa hak cipta
diberikan hanya pada karya-karya yang merupakan penuangan ide secara nyata,
bukan sekedar gagasan dan ide semata.
Pengertian hak cipta yang
diuraikan di atas selain memberikan pemahaman tentang hak cipta dalam
pengertian itu menunjukkan karakteristik dari hak cipta. Karakteristik hak
cipta mencakup pada: Pertama,pemegang hak cipta terdiri dari
pencipta atau penerima hak; Kedua,hak eksklusif untuk mengumumkan atau
memperbanyak; Ketiga;dapat diberikan hak eksklusif tersebut
kepada pihak lain dengan memberi izin; Keempat,hak cipta timbul secara otomatis; hak
cipta mencakup pada bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.
Hak cipta memiliki dua macam
hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada
diri pencipta. Hak moral diatur di dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1), (2), (3),
dan (4) UU Hak Cipta.
Dari ketentuan ini dapat
ditetapkan bahwa moral meliputi pada: Pertama,nama pencipta harus dicantumkan dalam
ciptaannya; Kedua,ciptaan tidak boleh diubah kecuali
atas persetujuan pencipta atau ahli waris; Ketiga,nama pencipta atau nama samaran
pencipta tidak boleh dilakukan perubahan; Keempat,judul dan anak judul ciptaan tidak
boleh dilakukan perubahan.
Muhammad Djumhana mengemukakan
bahwa hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta.
Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu Perancis.
Menurut konsep hukum kontinental hak pengarang (droit
d’auteur, author rights)terbagi
menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti
uang, dan hak moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi si pencipta.
Di setiap negara umumnya hak
ekonomi di dalam hak cipta terdiri dari: hak reproduksi atau penggandaan, hak
adaptasi, hak distribusi, hak penampilan (performance
rights), hak penyiaran (brodcasting right), hak program kabel, droit de
suite,dan hak pinjam
masyarakat (public lending rights).
Lingkup hak cipta meliputi pada
bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Pasal 12 ayat (1) UU Hak Cipta
menentukan jenis-jenis ciptaan yang diberikan hak cipta secara terperinci.
Penetapan beberapa jenis ciptaan yang diberikan hak cipta ini sebenarnya tidak
membatasi atas pemberian hak cipta atas ciptaan lain di luar yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU Hak Cipta.
Perolehan Hak Cipta
Untuk memperoleh hak cipta,
pemegang hak cipta berdasarkan ketentuan hukum hak cipta bersifat otomatis
tatkala ciptaan diwujudkan secara nyata. Hal ini didasarkan pada ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UU Hak Cipta yang menyatakan:
Hak Cipta merupakan hak
eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan konsepsi perolehan hak
cipta, maka apapun bentuk ciptaannya sepanjang tidak dikategorikan sebagai
ciptaan yang tidak ada hak cipta dan dan diwujudkan secara nyata dalam lingkup
bidang seni,sastra dan ilmu pengetahuan dapat memperoleh hak cipta.
Apabila saat ini ada yang
berpandangan bahwa hak cipta diperoleh melalui mekanisme pendaftaran sebenarnya
merupakan pandangan yang tidak tepat. Pendaftaran ciptaan memang terdapat
pengaturannya. Pengaturan tersebut ditemukan dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1),
(2), (3), dan (4) UU Hak Cipta yang menyatakan :
(1) Direktorat
Jenderal menyelenggarakan pendaftaran ciptaan dan dicatat dalam daftar umum
ciptaan.
(2) Daftar umum ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari daftar umum ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta.
(2) Daftar umum ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari daftar umum ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta.
Berdasarkan ketentuan ini dapat
diketahui, lembaga yang menyelenggarakan pendaftaran adalah Direktorat Jenderal
HKI. Ciptaan yang terdaftar akan dimuat dalam Daftar Umum ciptaan yang dapat
diakses oleh publik. Di samping dapat akses kepada Daftar Umum ciptaan, khusus
untuk petikan daftar umum juga dapat diakses oleh publik tanpa dikenai biaya.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 35 UU Hak cipta, Pasal 37 sampai Pasal 44 UU Hak
Cipta mengatur lebih jelas prosedur pendaftaran ciptaan.
Adapun inti dari prosedur
pendaftaran ciptaan yang dimaksud dimulai dengan pengajuan permohonan ke
Direktorat Jenderal HKI. Direktorat Jenderal HKI dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan ini meliputi dua macam, yakni pemeriksaan administratif, di mana
yang diperiksa berupa kelengkapan persyaratan – persyaratan administratif dan
pemeriksaan substantif, di mana yang diperiksa berupa keorisinalan ciptaan dari
pencipta atau pemegang hak cipta atas ciptaan yang dimohonkan.
Apabila dalam pemeriksaan administratif ada
kekuranglengkapan, maka akan diberitahukan kepada pemohon. Kemudian, apabila
dalam pemeriksaan substantif tidak ada nilai orisinalitasnya dari ciptaan, maka
permohonan pendaftaran ciptaan akan ditolak.
Penentuan orisinalitas, dapat
dipahami dalam konteks karya tersebut haruslah dihasilkan oleh orang yang
mengakui karya tersebut sebagai karangan atau ciptaannya. Karya tersebut tidak
boleh dikopi atau direproduksi dari karya lain. Jika si pencipta atau pengarang
telah menerapkan tingkat pengetahuan, keahlian dan penilaian yang cukup tinggi
dalam proses penciptaan karyanya, hal ini sudah dianggap cukup memenuhi sifat
keaslian guna memperoleh perlindungan hak cipta.
Ciptaan yang dihasilkan tersebut
akan merupakan ciptaan asli, jika ciptaan tersebut tidak merupakan
jiplakan/tiruan dari ciptaan lain dari pencipta telah menggunakan kemampuan
pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan ke
dalam bentuk yang khas dan pribadi.
Untuk pemohon yang tidak dapat
menerima penolakan pendaftaran ciptaan dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan
Niaga. Bagi permohonan pendaftaran ciptaan yang telah memenuhi kelengkapan
administratif dan orisinalitas dapat dipastikan permohonan ciptaannya akan
didaftar. Setelah dilakukan pendaftaran, maka dimuat di dalam Daftar Umum dan
dalam Tambahan Berita Negara.
Permohonan pendaftaran ciptaan
tersebut, Direktorat Jenderal HKI akan memberikan keputusan paling lama 9
(sembilan) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.
Perlu diketahui, pendaftaran ciptaan sebagaimana yang telah diuraikan tadi pada
dasarnya bukan merupakan sarana untuk memperoleh hak cipta. Hal ini sejalan
dengan Penjelasan ketentuan Pasal 35 ayat (4) UU Hak Cipta.
Dari paparan secara
keseluruahan mengenai perolehan hak cipta dapat diketahui, hak cipta diperoleh
secara otomatis ketika ciptaan dilahirkan. Pendaftaran ciptaan sebagai sebuah
ketentuan di dalam UU Hak Cipta bukanlah sebagai sarana untuk memperoleh hak
cipta.
Bentuk Pelanggaran dan
Mekansime Penyelesaian Pelanggaran Hak Cipta
Hak cipta sebagai hak monopoli,
di mana di dalamnya terdapat dua macam hak, sangat potensial mengalami
pelanggaran. Pelanggaran tersebut dapat mencakup pada pelanggaran hak moral dan
hak ekonomi. Pelanggaran hak moral atas ciptaan dapat diwujudkan dengan tidak
mencantumkan nama pencipta atau melakukan perubahan atas ciptaan tanpa seizin
penciptanya.
Pelanggaran hak ekonomi atas
ciptaan dapat diwujudkan dengan melakukan pengumuman dan perbanyakan yang
dimaksudkan untuk tujuan komersial. Pelanggaran hak cipta selain dapat dilihat
dari segi isi hak cipta sendiri, dapat juga dilihat dari sisi bentuk pelanggarannya.
Pelanggaran hak cipta ini dapat berupa pelanggaran hak cipta yang mengandung
unsur keperdataan dan pelanggaran hak cipta yang mengandung unsur pidana.
Pelanggaran hak cipta yang
mengandung unsur keperdataan biasanya dibuktikan dengan adanya kerugian dari
pihak pencipta atau pemegang hak cipta baik secara materiil maupun imateriil,
sedangka pelanggaran hak cipta yang mengandung unsur pidana dibuktikan dengan
terpenuhinya unsur-unsur sebagaimana yang tertuang di dalam ketentuan Pasal 72
ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9) UU Hak Cipta. Menurut Trisno
Raharjo dari ketentuan ini dapat ditentukan jenis pelanggaran hak cipta yang
mengandung unsur pidana, yakni:
(1) Tanpa hak
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dan hak terkait.
(2) Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau hak terkait yang berasal dari pelanggaran hak cipta.
(3) Tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
(4) Larangan pengumuman ciptaan bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan serta ketertiban umum.
(5) Tanpa izin memperbanyak atau mengumumkan potret seseorang atau potret yang memuat dua orang atau lebih.
(6) Tanpa hak mengubah hak cipta, judul, anak judul dan mengubah nama atau nama samaran pencipta serta tidak mencantumkan nama pencipta.
(7) Tanpa hak meniadakan atau mengubah informasi elektronik tentang informasi menajemen hak pencipta.
(8) Tanpa hak merusak, meniadakan atau membuat tidak berfungsi saran kontrol teknologi pengaman hak pencipta.
(9) Tanpa izin tidak memenuhi persyaratan produksi yang ditetapkan guna menghasilkan ciptaan yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi khususnya di bidang cakram optik.
(2) Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau hak terkait yang berasal dari pelanggaran hak cipta.
(3) Tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
(4) Larangan pengumuman ciptaan bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan serta ketertiban umum.
(5) Tanpa izin memperbanyak atau mengumumkan potret seseorang atau potret yang memuat dua orang atau lebih.
(6) Tanpa hak mengubah hak cipta, judul, anak judul dan mengubah nama atau nama samaran pencipta serta tidak mencantumkan nama pencipta.
(7) Tanpa hak meniadakan atau mengubah informasi elektronik tentang informasi menajemen hak pencipta.
(8) Tanpa hak merusak, meniadakan atau membuat tidak berfungsi saran kontrol teknologi pengaman hak pencipta.
(9) Tanpa izin tidak memenuhi persyaratan produksi yang ditetapkan guna menghasilkan ciptaan yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi khususnya di bidang cakram optik.
Sementara itu ketentuan Pasal
72 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 73 ayat (1) UU Hak Cipta memuat unsur-unsur
pelanggaran sebagai berikut: 1). Barangsiapa; 2). Dengan sengaja; 3). Tanpa
hak; 4). Mengumumkan, memperbanyak, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau
menjual; 5). Hak cipta dan hak terkait. Uraian dari setiap unsur tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, unsur barangsiapa. Ini
menandakan yang menjadi subjek delik adalah : “siapapun”. Kalau menurut KUH Pidana yang
berlaku sekarang, hanya manusia yang menjadi subjek delik, sedangkan badan
hukum tidak menjadi subjek delik. Tetapi, dalam undang-undang khusus seperti
Undang-Undang Tidak Pidana Ekonomi, badan hukum atau korporasi juga menjadi
subjek delik. Dalam hal ini barangsiapa termasuk pula “badan hukum”
atau “korporasi”. Dalam UU Hak Cipta, “barang
siapa” bisa ditunjuk antara
lain, kepada pelaku dan produser rekaman suara. Pelaku adalah aktor, penyanyi,
pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan,
menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan atau memainkan suatu karya musik,
drama, tari, sastra, foklor, atau karya seni lainnya. Produser rekamana suara
adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung
jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman
dari suatu pertunjukan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi lainnya.
Kedua, unsur dengan sengaja.
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajan atau opzet bukan unsur culpa(kelalaian).
Ini adalah layak, oleh karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu
ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajan ini dapat berupa
kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk),kesengajaan secara keinsafan
kepastian (Opzet bij zekerheidsbewustzijn),dan kesengajaan secara keinsfan
kemungkinan (Opzet bij mogelijkheidsbewustzjin).
Ketiga, unsur tanpa hak. Mengenai
arti tanpa hak dari sifat melanggar hukum, dapat dikatakan bahwa mungkin
seseorang tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali
tidak dilarang oleh suatu peraturan hukum. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 UU
Hak Cipta, pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau
pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta. Pemilik hak cipta dapat
mengalihkan atau menguasakan sebagai atau seluruh haknya kepada orang/badan
hukum baik melalui perjanjian, surat kuasa maupun dihibahkan atau diwariskan.
Tanpa pengalihan atau kuasa tersebut, maka tindakan itu merupakan “tanpa hak.”
Keempat, unsur perbuatan dapat
dikualifikasikan dalam bentuk mengumumkan. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (5)
UU Hak Cipta, pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan,
pengedaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun,
termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun, sehingga suatu
ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain; dan unsur
memmperbanyak (perbanyakan), menurut ketentuan Pasal 1 ayat (6) UU Hak Cipta,
adalah penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun sebagian
yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak
sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
Kelima, hak cipta. Menurut ketentuan
Pasal 1 ayat (1) UU Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu,
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hak terkait menurut ketentuan Pasal 1 angkat 9
UU Hak Cipta adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak eksklusif
bagi pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya, bagi produsen
rekaman suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau
rekaman bunyinya dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat, memperbanyak atau
meniarkan karya siarannya.
Pelanggaran hak cipta dalam konteks
musik dan lagu dikenal juga dengan pembajakan. Menurut Hendra Tanu Atmadja,
pembajakan dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yakni:
Pertama, pembajakan sederhana, di mana suatu rekaman asli dibuat
duplikatnya untuk diperdagangan tanpa seizin produser atau pemegang hak yang
sah. Rekaman hasil bajakan dikemas sedemikian rupa, sehingga berbeda dengan
kemasan rekaman aslinya.
Kedua, rekaman yang dibuat
duplikatnya, kemudian dikemas sedapat mungkin mirip dengan aslinya, tanpa izin
dari pemegang hak ciptanya. Logo dan merek ditiru untuk mengelabui masyarakat,
agar mereka percaya bahwa yang dibeli itu adalah hasil produksi yang asli.
Ketiga, penggandaan perekaman
pertunjukan artis-artis tertentu tanpa izin dari artisnya tersebut atau dari
komposer atau tanpa persetujuan dari produsen rekaman yang mengikat artis
bersangkutan dalam suatu perjanjian kontrak.
Pelanggaran hak cipta dengan
pembajakan pada musik dan lagu ini dapat merugikan pemegang hak dan masyarakat
secara luas. Sebagai perbandingan bahwa pelanggaran hak cipta dapat merugikan
secara ekonomi dilihat pada beberapa kasus yang terjadi di Eropa. Pada tahun
1993 menunjukkan bahwa cukup banyak kerugian yang dialami para kreator karena
kreasi-kreasinya di bidang musik di bajak oleh pihak lain. Sebagai contoh, di
Jerman, Italia dan Polandia jumlah kerugian yang dialami para kreator
masing-masing mencapai lebih dari U$. 100.000.000,00 (seratus juta dolar) atau
lebih dari Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupiah). Begitu pula
kerugian yang dialami oleh para penerbit di Inggris atas pembajakan penerbitan
yang terjadi di manca negara telah mencapai lebih dari 200.000.000,00 (dua
ratus juta poundsterling) atau lebih dari Rp. 600.000.000.000,00 (enam ratus
milyar rupiah). Dalam data ini, kerugian yang dialaminya di Indonesia mencapai
15.000.000,00 (lima belas juta poundsterling) pada tahun 1993, sedangkan
penyalahgunaan program komputer pada tahun 1993 tidak hanya terjadi di
negara-negara berkembang seperti Thailand yang mencapai 99% (sembilan puluh
persen) atau senilai U$ 181.000.000,00 (seratus delapan puluh satu juta dolar),
tetapi juga di negara-negara industri maju seperti Jepang yang mencapai 92%
(sembilan puluh dua persen) atau senilai U$ 3.000.000.000,00 (tiga milyar
dolar), Perancis, Jerman dan Italia penyalahgunaannya mencapai lebih dari 50%
(lima puluh persen).
Melihat pada bentuk pelanggaran
di atas dibutuhkan upaya penyelesaian sengketa pelanggaran hak cipta. Sebelum
berlakunya Persetujuan TRIPs tidak ada satupun perjanjian internasional,
termasuk Konvensi Bern yang mengatur secara terinci tentang prosedur penegakan
hukum bagi perlindungan hak cipta. Menurut Pasal 41 ayat (1) TRIPs adalah menjadi
kewajiban negara peserta menjamin prosedur penegakan hukum yang dapat
diterapkan dalam hukum negara peserta perjanjian seperti dimungkinkannya
melakukan tindakan efektif terhadap setiap perbuatan melanggar HKI yang dilindungi perjanjian ini.
Mekanisme menyelesaikan
pelanggaran hak cipta yang mengandung unsur keperdataan dapat diawali dengan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga atau dapat diselesaikan dengan
menggunakan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Alternatif
Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase.
Apabila penyelesaian melalui
gugatan ke Pengadilan Niaga masih dianggap belum memberikan rasa keadilan
kepada pihak-pihak, maka dapat dilakukan upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah
Agung dan pada akhirnya dapat melakukan upaya hukum peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung.
Dalam konteks penyelesaian
pelanggaran hak cipta ini dikenal ada ketentuan tentang penetapan sementara (injunctions).
Adanya ketentuan penetapan sementara sebagai kewenangan akim Pengadilan Niaga
ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya
dilanggar. Untuk keperluan ini atas permohonan pemegang hak cipta, hakim
Pengadilan Niaga diberi kewenangan untuk menerbitkan penetapan sementara dengan
segera dan efektif guna mencegah berlanjutnya pelanggaran dan masuknya barang
yang diduga melanggar hak cipta dan hak terkait ke jalur perdagangan termasuk
tindakan importasi.
Penetapan sementara sebagai
upaya hukum yang dapat dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga dengan segera dan
efektif menimbulkan beberapa persoalan yang perlu difikirkan pemecahannya.
Upaya hukum penetapan sementara dalam hukum Indonesia merupakan suatu sistem
hukum baru. Ada kemiripan dengan putusan sela yang dikenal dalam sistem hukum
Indonesia. Namun, terdapat perbedaan hakiki antara putusan sela dan penetapan
sementara yang telah lama dikenal dan sering dipakai dalam pengadilan
negara-negara dengan sistem hukum anglo saxon. Penetapan sementara adalah suatu
keputusan pengadilan niaga yang mendahului pemeriksaan suatu perkara, yang
berarti sebelum pokok perkara diperiksa oleh hakim pengadilan niaga. Sedangkan
putusan sela berdasarkan Pasal 108 HIR dapat diajukan permohonannya oleh pihak
yang berperkara pada saat perkara sedang berproses di pengadilan.
Hak untuk mengajukan gugatan
perdata sebagaimana diuraikan di atas tidak mengurangi hak negara untuk
melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta. Untuk mekanisme
penyelesaian pelanggaran hak cipta yang mengandung unsur pidana dapat
diselesaikan dengan peran aktif dari aparat penegak hukum. Proses penyelesaian
pelanggaran hak cipta dalam konteks ini dapat dilakukan melalui proses
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Apabila putusan di
Pengadilan Negeri dianggap belum dapat memberikan rasa keadilan, maka dapat
dilakukan upaya hukum berupa banding ke Pengadilan Tinggi dan kasasi serta
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Perlu diketahui, delik pidana
yang dianut ileh UU Hak Cipta berupa delik biasa. Di mana pihak penyidik dapat
secara pro aktif melakukan tindakan hukum kepada pihak pelanggar tanpa harus
menunggu adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar